Seorang guru agama pada sebuah sekolah menengah pertama di kota
Mataram mengeluh tentang rasa jenuh dan bosan yang menerpanya setiap
saat ketika mengajar. Perasaan bosan dalam mengajar seperti virus yang
setiap saat menggerus keyakinannya bahwa mengajar adalah
ibadah.Perasaan bosan juga muncul karena apa yang diajarkannya kepada
siswa selalu harus diulang dalam rangkaian tes dan evaluasi yang hanya
mengejar angka-angka kelulusan siswa sebagai penanda berakhirnya
rangkaian proses belajar-mengajar.
Alhasil, karena disorientasi dalam mengajar, bisa dikatakan bahwa
perasaan bosan menerpa hampir seluruh guru di sekolah.Penyebabnya selalu
tidak tunggaul, melainkan banyak factor. Tetapi jika diurut secara
seksama tentang factor dominan apa yang menyebabkan munculnya perasaan
bosan para guru, ternyata karena minimnya imajinasi kreatif dalam
melakukan proses belajar mengajar. Minimnya imajinasi kreatif lebih
banyak disebabkan oleh ketergantungan yang tinggi kepada bahan ajar dan
instruksi-instruksi tiada henti dari para kepala sekolah, pengawas,
dan dinas terkait tentang kurikulum.
Bukti dan bentuk kebosanan lainnya saya dapati dari ratusan kali
workshop tentang kurikulum 2013. Ketika mengajak para guru untuk
mengubah mind-set atau cara pandang tentang mengapa kurikulum
harus berubah, saya tak menggunakan lembar demi lembar slide Rhenald
Kasali yang disediakan Kemendikbud. Padahal substansi perubahan
paradigma tentang kurikulum dalam rangkaian proses pelatihan kurikulum
sangatlah penting. Karena itu menurut hemat saya, daripada memberikan
mereka paradigm perubahan dari tuntutan global yang belum tentu cocok
dengan gaya berpikir guru, lebih baik mengajak mereka untuk melihat
persoalan kreativitas dari sisi mereka sendiri.
Dalam setiap workshop, saya selalu meminta para guru untuk membuat
imajinasi visual tentang kurikulum.Imajinasi visual didasarkan pada
teori belajar berbasis otak (brain based learning theories) yang kurang
lebih menyebutkan bahwa setiap kata yang diucapkan atau dibaca oleh
seseorang sesungguhnya ditangkap oleh otak kita secara visual atau
dalam bentuk gambar.Misal, ketika kata “gajah” saya sebut, imajinasi
para guru tentang gajah amatlah beragam.Ada yang menangkap gambar
belalainya, gading, kaki dan badannya yang besar, kupingnya yang lebar
dan sebagainya.Tak pernah sekalipun otak kita menangkap kata gajah
dalam bentuk rangkaian huruf g-a-j-a- dan h.
Berangkat dari teori ini kemudian saya minta para guru untuk membuat
definisi kurikulum secara visual. Hasilnya? Hampir semua guru selalu
memandang negatif soal kurikulum karena imajinasi visual mereka tentang
kurikulum tak jauh dari gambar dokumen (lesson plan), buku, pengawas,
siswa, sekolah, uang, pensil, wajah orang dinas pendidikan, wajah
menteri, benang kusut dan sebagainya. Jika ditanya lebih lanjut, hampir
semua mengakui bahwa imajinasi mereka soal kurikulum sangatlah negatif
bahkan cenderung traumatik, karena selama ini tuntutan soal kurikulum
lebih banyak bersifat formal sehingga menghambat kreativitas guru dalam
melakukan proses belajar-mengajar yang yang kreatif dan menyenangkan.
Padahal, sejatinya kreativitas adalah anugerah Tuhan yang hampir
pasti dimiliki oleh setiap manusia. Hanya saja kreativitas dapat
memiliki banyak makna, tergantung aspek dan bidang apa yang akan
digeluti oleh seseorang. Sebagai bagian dari proses bekerja pikiran
atau intelegensia manusia, kreativitas kerap jarang bisa dipahami
secara langsung, bahkan oleh seseorang yang disebut kreatif sekalipun.
Karena itu benarlah jika kreativitas didefinisikan sebagai proses
mental dan sosial yang melibatkan daya kerja otak yang berusaha
menggabungkan konsep-konsep yang ada dengan ide-ide tertentu yang belum
terlihat wujudnya.
Bukti dan bentuk kebosanan lainnya saya dapati dari ratusan kali
workshop tentang kurikulum 2013. Ketika mengajak para guru untuk
mengubah mind-set atau cara pandang tentang mengapa kurikulum
harus berubah, saya tak menggunakan lembar demi lembar slide Rhenald
Kasali yang disediakan Kemendikbud. Padahal substansi perubahan
paradigma tentang kurikulum dalam rangkaian proses pelatihan kurikulum
sangatlah penting. Karena itu menurut hemat saya, daripada memberikan
mereka paradigm perubahan dari tuntutan global yang belum tentu cocok
dengan gaya berpikir guru, lebih baik mengajak mereka untuk melihat
persoalan kreativitas dari sisi mereka sendiri.
Dalam setiap workshop, saya selalu meminta para guru untuk membuat
imajinasi visual tentang kurikulum.Imajinasi visual didasarkan pada
teori belajar berbasis otak (brain based learning theories) yang kurang
lebih menyebutkan bahwa setiap kata yang diucapkan atau dibaca oleh
seseorang sesungguhnya ditangkap oleh otak kita secara visual atau
dalam bentuk gambar.Misal, ketika kata “gajah” saya sebut, imajinasi
para guru tentang gajah amatlah beragam.Ada yang menangkap gambar
belalainya, gading, kaki dan badannya yang besar, kupingnya yang lebar
dan sebagainya.Tak pernah sekalipun otak kita menangkap kata gajah
dalam bentuk rangkaian huruf g-a-j-a- dan h.
Berangkat dari teori ini kemudian saya minta para guru untuk membuat
definisi kurikulum secara visual. Hasilnya? Hampir semua guru selalu
memandang negatif soal kurikulum karena imajinasi visual mereka tentang
kurikulum tak jauh dari gambar dokumen (lesson plan), buku, pengawas,
siswa, sekolah, uang, pensil, wajah orang dinas pendidikan, wajah
menteri, benang kusut dan sebagainya. Jika ditanya lebih lanjut, hampir
semua mengakui bahwa imajinasi mereka soal kurikulum sangatlah negatif
bahkan cenderung traumatik, karena selama ini tuntutan soal kurikulum
lebih banyak bersifat formal sehingga menghambat kreativitas guru dalam
melakukan proses belajar-mengajar yang yang kreatif dan menyenangkan.
Padahal, sejatinya kreativitas adalah anugerah Tuhan yang hampir
pasti dimiliki oleh setiap manusia. Hanya saja kreativitas dapat
memiliki banyak makna, tergantung aspek dan bidang apa yang akan
digeluti oleh seseorang. Sebagai bagian dari proses bekerja pikiran
atau intelegensia manusia, kreativitas kerap jarang bisa dipahami
secara langsung, bahkan oleh seseorang yang disebut kreatif sekalipun.
Karena itu benarlah jika kreativitas didefinisikan sebagai proses
mental dan sosial yang melibatkan daya kerja otak yang berusaha
menggabungkan konsep-konsep yang ada dengan ide-ide tertentu yang belum
terlihat wujudnya.Berpikir Kreatif merupakan proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau anggitan (concept)
baru, atau hubungan baru antara gagasan dan anggitan yang sudah ada.
Dalam bahasa Guilford (dalam Munandar, 2009) kemampuan ini disebut
berpikir divergen atau pemikiran menjajaki bermacam-macam alternatif
jawaban terhadap suatu persoalan yang sama benarnya. Perkembagan
kemampuan berpikir kreatif dipengaruhi oleh dua faktor utama: keturunan
dan lingkungan.Jika melihat pengalaman di atas, jelas hambatan
kreativitas guru lebih banyak disebabkan oleh pengarug lingkungan dan
system pendidikan yang melihat kurikulum secara tidak kreatif. Padahal, sebetulnya semua orang diciptakan kreatif.Lingkunganlah yang
membuat potensi kreatif ini tidak dapat berkembang dengan optimal. Di
antara kendala mental yang menghambat perkembangan kreativitas antara
lain adalah kesulitan untuk mencari jawaban yang benar (Trying to Find the “Right” Answer).
Salah satu dampak buruk dari pendidikan formal adalah fokusnya pada
jawaban benar untuk pertanyaan atau masalah tertentu.Meskipun
pendekatan ini membantu kita melakukan fungsi-fungsi sosial dalam
masyarakat, namun cara ini berakibat buruk bagi pengembangan pemikiran
kreatif individu.Orang kemudian banyak mengalami kesulitan ketika harus
menyelesaikan permasalahan kehidupan nyata yang tidak hitam-putih,
ambigu. Karena faktor lingkungan, para guru cenderung “patuh” secara membabi
buta terhadap aturan soal kurikulum, misalnya, sehingga mengikuti
aturan (following rules) menjadi jalan satu-satunya untuk
selamat dari penilaian para pengawas. Kebiasaan ini tentu saja membunuh
kreativitas guru, karena mereka tak berani menabrak aturan.Padahal,
terkadang aturan harus dipecah, ditabrak, untuk berinovasi.Tentu saja
hal ini berisiko. Jadi apa yang harus kita lakukan? Melanggar aturan
mental. Cukup dengan bertanya, "Apa aturan saat ini yang menghentikan
saya untuk menjadi lebih produktif?" Kita selalu dapat menantang aturan
tertentu tanpa harus melanggarnya. Sering kali, selama proses kreatif
ini, kita akan menemukan bahwa banyak hal inovatif dapat dicapai jika
aturan dirusak atau diubah. Persoalannya, nyaris tak ada keberanian dari
para guru untuk melawan aturan secara kreatif. Di ambil dari KickAndy
Selasa, 13 Januari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar